Melihat kondisi Indonesia
seharusnya kita sadar dan melek, bahwa sejatinya negeri ini adalah merupakan
negeri maritime. Dimana luas perairan laut 5,8 juta Km2 (75%) dari total
wilayah indonesia)yang terdiri dari 0,3 juta km2 perairan laut teritorial, 2,8
juta km2 perairan laut nusantara dan 2,7 juta km2 laut ZEE. Lebih luas
dibandingkan wilayah daratan yang hanya 1,9 juta km2 atau 25% dari total wilayah
indonesia. Disamping itu Indonesia memiliki garis pantai terpanjang ke dua di
Dunia, sepanjang 95.181 Km2. wilayah pesisir dan lautan Indonesia pun dikenal
memiliki potensi kekayaan alam dan ekonomi yang sangat besar dan beragam.
Kekayaan alam yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan Indonesia terdiri
atas SDA terbarukan, SDA tak terbarukan serta energi kelautan dan jasa-jasa
lingkungan. Dengan potensi kelautan dan perikanan tersebut, mestinya Indonesia
mampu melebihi Negara-negara lain di dunia, bahkan seharusnya Indonesia sudah
menjadi Negara besar dan makmur. Namun sudah 65 tahun merdeka, indonesia masih
berstatus sebagai negara berkembang dengan tingkat penangguran dan kemiskinan
yang tinggi dengan daya saing ekonomi yang rendah.
Kesalahan kebijakan dan
praktek-praktek korupsi dan tidak berkepihakan terhadap masyarakat merupakan
factor utama yang menyebabkan Negara ini tidak mampu bersaing dengan dengara
lain, justru sangat tertinggal jauh dengan Negara lain di dunia. Terpuruknya
kondisi Negara yang kita cintai ini disebabkan rendahnya IPM (indeks
Pembangunan Manusia). Padahal indonesia dikenal sebagai negara degan jumlah
penduduk lebih dari 200juta jiwa (terbesar ke empat di dunia setelah china,
india dan AS).
Pada kondisi yang demikian
sangat jelas dan sangat wajar ketika masyarakat negeri ini sudah mulai bosan
dan gerah melihat kondisi negerinya tidak mampu mensejahterakan dan memakmurkan
masyarakatnya dari segala aspek kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan,
lapangan pekerjaan, sarana dan prasarana yang memadai, sembako dan lain
sebagainya.
Yang sangat membuat kita
kaget adalah dimana angka kemiskinan yang tertinggi berada pada daerah pesisir
yang notabennya merupakan daerah yang sangat kaya akan potensi sumberdaya alam
kelautan. Jika dilihat dari segi geografis bahwa indonesia merupakan Negara
maritime maka seharusnya daerah pesisir tidak menjadi daerah yang miskin karena
secara fakta bahwa factor penunjang kemiskinan di daerah pesisir tidak dimiliki
oleh negeri ini. Jikapun kemiskinan terjadi di daerah pesisir itu disebabkan
oleh kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang dan tidak pernah mau atau dengan
sengaja melakukan kemiskinan di daerah pesisir.
Selama 65 tahun indonesia
merdeka sudah beberapa kali negeri ini mengalami pergantian pemimpin, mulai
dari Presiden Soeharto sampai era kepemimpinan Presiden SBY, pembangunan di
sector kelautan tidak menunjukkan kemajuan yang berarti itu bisa terlihat dari
kebijakan-kebijakan pemerintah yang sampai sekarang belum menerapkan sebuah
kebijakan pembangunan secara terpadu di wilayah pesisir indonesia. Boleh kita
berbangga pada zaman Presiden Soeharto dimana pada tahun 1984 indonesia mampu
untuk melakukan swasembada beras kalau menurut saya itu itu tidak masuk akal
karena tidak dibarengi dengan swasembada ikan. Karena sudah jelas-jelas bahwa
fakta menyebukan 75 % wilayah negeri ini terdiri perairan laut jadi
dibandingkan dengan luas daratan yang indonesia miliki laut lebih luas jadi
dengan sendirinya sumberdaya alam di sector kelautan indonesia lebih unggul,
jadi kenapa justru swasembada beras yang terjadi bukan swasembada ikan. Itu kan
hal yang sangat aneh yang pernah terjadi di negeri ini. Melihat dari kejadian
itu saja sudah sangat jelas bahwa terjadi diskriminasi kebijakan pembangunan di
negeri ini dengan menganaktirikan daerah pesisir di negeri ini.
Sitem yang terbentuk selama
era kepemimpinan Presiden Soeharto sangat kental dan sampai sekarang system
tersebut belum sepenuhnya berubah walaupun indonesia sudah melakukan reformasi
yang kalau menurut saya reformasi bohonh-bohongan, karena system yang
diwariskan oleh era kepemimpinan Presiden Soeharto masih kental sekali. Memang
tidak semua sitem yang di berlakukan pada era Presiden Soeharto buruk, namun
sebagian besar sangat memberikan dampak yang tidak sehat bagi negeri ini, sebut
saja budaya KKN walaupun pada dasarnya negeri ini bukanlah negeri yang
menjadikan KKN tersebut sebagai budaya mereka, namun budaya tersebut telah
terbentuk dengan sendirinya dan sampai sekarang pemerintah sepertinya sangat tidak
serius untuk menghilangkan akar dari budaya KKN tersebut.
Barulah pada masa
kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau biasa lebih kita kenal dengan
sebutan Pak Gus Dur, sector kelautan dan perikanan mendapat perhatian lebih
serius dimana pada Tahun 2000 dibentuknya sebuah Departemen yang langsung
menangani sector kelautan dan perikanan di negeri ini dan dipimpin oleh seorang
Mentri. Departemen tersebut kita kenal dengan Departemen Kelautan dan Perikan
yang sekarang sudah berganti nama menjadi Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Walaupun sector kelautan dan perikanan telah memiliki departeman tersendiri dan
di pimpin oleh seorang Mentri, namun sampai saat ini belum ada perubahan yang
berarti terhadap dunia maritime di negeri ini. Sudah hampir 11 tahun lamanya
Kementrian Kelautan dan Perikanan berdiri, namun belum mampu menciptakan dan
sebuah terobosan yang bisa membuat sector kelautan dan perikanan di negeri ini
maju dan terangkat. Justru pada Tahun 2011 indonesia melakukan impor ikan dari
Cina, itu sangat aneh dan tidak masuk akal sama sekali, jika bisa disebut
kebijakan mengimpor ikan dari cina adalah penghinaan bagi negeri ini dan
kebijakan tersebut sangat-sangat mencerminkan bahwa Kementrian Kelautan dan
Perikanan dipimpin oleh seorang yang tidak layak untuk memimpin kementrian
kelautan dan perikanan negeri ini. Atas dasar apa kebijakan tersebut diambil.
Ikan di negeri ini banyak sekali Pak jadi tidak perlu impor ikan, belum lagi
negeri ini melakukan kebijakan impor garam, kalau selama ini garam berasal dari
air tebu bolehlah melakukan kebijakan impor garam dari Negara lain, tapi ini
garam dari air laut yang mana air laut di indonesia ini banyak sekali, dipakai
buat tinta untuk menuliskan kebodohan-kebodohan pemimpin negeri ini tidak akan
habis.
Proses kebijakan yang tidak
masuk akal dan terbilang sangat bodoh tersebut mencirikan bahwa sitem yang ada
sekarang ini justru jauh lebih buruk dibandingkan pada era kepemimpinan
Presiden Soeharto. Jika kita merujuk pada fakta yang ada bahwa Indonesia mempunyai
potensi produksi lestari perikanan terbesar di dunia, sekitar 65 juta
ton/tahun, dan kini sebagai produsen hasil perikanan terbesar ke empat di dunia
dengan total volume produksi sebesar 10,8 juta ton (KKP 2010 dan FAO 2010).
Disamping itu pada tahun 2004 total produksi perikanan Indonesia sebesar 6,2
juta ton, 4,7 juta ton ton berasal dari perikanan tangkap dan 1,5 juta ton
berasal dari perikanan budidaya (DKP 2007). Kemudian pada 2010 total produksi
perikanan menjadi 10,8 juta ton (KKP 2010). Artinya terjadi penambahan produksi
perikanan sebesar 4,6 juta ton selama 6 tahun. Jadi sangat aneh jika melakukan
kebijakan impor ikan dari Negara lain karena indonesia tidak butuh ikan dari
Negara lain, ikan dalam negeri ini lebih sedap dan mantab dibandingkan ikan
dari Negara lain. Peningkatan produksi perikanan tidak memiliki arti buat
kemajuan di daerah pesisir, logikanya jika terjadi peningkatan produksi
perikanan selama 6 tahun dari 2004-2010 secara otomatis dibarengi dengan
terjadinya peningkatan kehidupan nelayan di daerah pesisir, karena yang
menangkap ikan adalah nelayan dan hasil tangkapannya dijual ke penampung jadi
seharunya terjadi peningkatan ekonomi juga bagi nelayan dan keluarganya. Jangan
hanya mementingkan peningkatan ekonomi Negara saja, padahal nelayan lah yang
menyebabkan produksi perikanan negeri ini meningkat.
Melihat hal tersebut,
pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak serius melakukan
pembangunan di daerah pesisir khususnya nelayan yang tinggal di daerah pesisir.
Karena peningkatan produksi perikanan tidak membawa efek bagi peningkatan
ekonomi dan kesejahteraan nelayan di pesisir. Selain kebijakan pemerintah yang
tidak mendukung, penerapan system manajemen perikanan yang salah kaprah juga
menjadi factor pemicu terpuruknya dunia perikanan negeri ini. Fakta lain
menyebutkan kegiatan penangkapan ikan mencapai kategori overfishing sehingga
sustainable potensi perikanan tangkap di
Indonesia diambang kehancuran karena
terlalu focus pada pendugaan (KEBIJAKAN KEBETULAN) stock dari sumberdaya ikan,
kemudian informasi tentang produksi lestari dijadikan dasar oleh pemerintah
dalam hal pengelolaan perikanan di Negeri ini untuk menetapkan kuota penagkapan
ikan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch) yang besarnya 80% dari Maximum
sustainable Yield (FAO 1995). Bisa kita
lihat penerapan manajemen perikanan tangkap konvensional juga pada umumnya
dilaksanakan secara sentralistis dan top-down, sehingga dengan demikian
kebutuhan dan aspirasi masyarakatpesisir khususnya nelayan dan stakeholders
perikanan kurang atau bahkan tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari
pemerintah.
Hal tersebut tidak akan
terjadi jika pemerintah benar-benar serius menerapkan kebijakan pembangunan
sector kelautan dan perikanan dibarengi dengan penerapan manajemen perikanan
yang tepat dan benar, dimana didalam kebijakan tersebut pembangunan sumberdaya
manusia dalam hal ini nelayan menjadi prioritas utama sehingga dengan sendirinya
kemajuan sector kelautan dan perikanan tercipta karena factor sumberdaya manusia
yang ada khususnya nelayan di dukung dengan stakeholders dunia perikanan di
indonesia. Jadi dengan begitu nelayan menjadi factor utama dibalik kemajuan
sector kelautan dan perikanan di negeri ini dan hal tersebut harus terbukti
dengan peningkatan kesejahteraan bagi nelayan dan masyarakat pesisir di negeri
ini.
satu hal lagi yang perlu
pemerintah pahami dengan sepaham-pahamnya didasarai atas kesadaran sebagai
seorang yang berpendidikan, bahwa negeri ini kaya akan khasanah budaya bangsa
dan memiliki lebih dari 300 suku yang berbeda-beda dan mempunyai keunikan dalam
adat dan tradisi secara turun temurun dalam pengelolaan kekayaan hayati
perikanan. Itu terbukti dimana norma
adat masyarakat daerah yang kemudian berfungsi sebagai hukum adat dan memiliki
kekuatan hukum yang jelas, mengikat dan wajib bagi seluruh anggota masyarakat
adat untuk mentaatinya. Hukum adat lahir dari masyarakat dan terbentuk melaui
metamorphosis pola social yang terjadi pada generasi pendahulu secara turun
temurun baik pada masa sebelum Indonesia merdeka, saat merdeka, rezim orde
lama, rezim orde baru, era reformasi, hingga saat ini . Jadi pemerintah harus
tahu itu jangan sok tahu, hal tersebut sudah sangat jelas bahwa Manajemen
Perikanan yang berbasis masyarakat (community – based management) menjadi jalan
keluar dimana kearifan budaya local menjadi ujung tombak dalam melakukan
pembangunan di sector kelautan dan perikanan, hal tersebut bisa dilakukan jika
pemerintah ingin dan serius menjadikan pembangunan sumberdaya manusia sebagai
prioritas khususnya nelayan sehingga sejalan dengan kearifan local yang
dimiliki oleh negeri ini di setiap daerah pesisir yang ada di negeri tercinta
ini. Disamping itu manajemen kolaborasi antara masyarakat local, pemerintah dan
swasta (Luky Adrianto 2006) harus terintegrasi menjadi satu kesatuan dalam
mengambil kebijakan membangun dunia perikanan di Indonesia. Sehingga tidak ada
lagi sentralistik kebijakan dalam pembangunan dunia perikanan di negeri ini.
Memang betul dan tidak
dapat dipungkiri, bahwa dunia perikanan khususnya di Indonesia merupakan sebuah
system yang sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak di dalamnya. Seperti
yang dikatakan oleh Prof. Walters : “….Most fisheries problem are complex and
contain human as well as biological dimensions. Too frequently we see the
consequences of trying to deal with complexity in fragmentary or narrow way.
Management plan based on the soundest of biological information fail when it is
discovered that fishing pressure cannot be controlled because of unforeseen
political or economic constraints. Economic policies fail when unforeseen
biological limits are exceeded. In short, fisheries represent dynamic (time
varying) systems with interacting components…” (Walters 1980 dalam Adrianto
2008).
Dengan demikian,
pengelolaan perikanan tidak bisa terlepas dari peran berbagai pihak seperti
nelayan, pemerintah, lembaga non pemerintah, akademisi dan pelaku perikanan
lainnya. Dalam konteks tersebut, pemerintah harus paham dan mengerti bahwa
dunia perikanan khususnya di Indonesia melibatkan banyak pihak, dan atas dasar
tersbutlah yang menjadi pendorong pentingnya ko-manajemen sebagai salah satu
proses untuk mempertemukan keinginan seluruh pihak yang terkait.
Namun semua cita-cita
diatas akan terlaksana jika pemerintah benar-benar serius melakukan pembangunan
dan pembenahan di sector kelautan dan perikanan negeri ini dengan mengajak
semua stakeholders yang ada baik pemerintah pusat (KKP), pemerintah provinsi, pemerintah
daerah, lembaga non pemerintah, akademisi dan pelaku perikanan lainnya.
Sehingga negeri ini akan maju dan di segani karena jati diri Indonesia adalah
sebagai Negara maritime yang jika pemerintah menutup mata dan masa bodoh
tentang jati diri negeri ini, maka sampai kapanpun juga Indonesia tidak akan
maju karena sudah menyalahi kondratnya sebagai negeri maritime yang di
pinggirkan oleh kebijakan pemerintah. Kalo memang pemerintah tidak serius dan
tidak menjadikan prioritas dalam membangun sector kelautan dan perikanan di negeri
ini, maka seperti kata kanda saya Bang Metang “lebih baik kembalikan kedaulatan
secara penuh kepada setiap daerah yang ada di negeri ini dan pemerintah hanya
sebagai fasilitator saja”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar