Sabtu, 03 November 2012

INDONESIA YANG MULIA SEBAGAI NEGERI MARITIME

Melihat kondisi Indonesia seharusnya kita sadar dan melek, bahwa sejatinya negeri ini adalah merupakan negeri maritime. Dimana luas perairan laut 5,8 juta Km2 (75%) dari total wilayah indonesia)yang terdiri dari 0,3 juta km2 perairan laut teritorial, 2,8 juta km2 perairan laut nusantara dan 2,7 juta km2 laut ZEE. Lebih luas dibandingkan wilayah daratan yang hanya 1,9 juta km2 atau 25% dari total wilayah indonesia. Disamping itu Indonesia memiliki garis pantai terpanjang ke dua di Dunia, sepanjang 95.181 Km2. wilayah pesisir dan lautan Indonesia pun dikenal memiliki potensi kekayaan alam dan ekonomi yang sangat besar dan beragam. Kekayaan alam yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan Indonesia terdiri atas SDA terbarukan, SDA tak terbarukan serta energi kelautan dan jasa-jasa lingkungan. Dengan potensi kelautan dan perikanan tersebut, mestinya Indonesia mampu melebihi Negara-negara lain di dunia, bahkan seharusnya Indonesia sudah menjadi Negara besar dan makmur. Namun sudah 65 tahun merdeka, indonesia masih berstatus sebagai negara berkembang dengan tingkat penangguran dan kemiskinan yang tinggi dengan daya saing ekonomi yang rendah.
Kesalahan kebijakan dan praktek-praktek korupsi dan tidak berkepihakan terhadap masyarakat merupakan factor utama yang menyebabkan Negara ini tidak mampu bersaing dengan dengara lain, justru sangat tertinggal jauh dengan Negara lain di dunia. Terpuruknya kondisi Negara yang kita cintai ini disebabkan rendahnya IPM (indeks Pembangunan Manusia). Padahal indonesia dikenal sebagai negara degan jumlah penduduk lebih dari 200juta jiwa (terbesar ke empat di dunia setelah china, india dan AS).
Pada kondisi yang demikian sangat jelas dan sangat wajar ketika masyarakat negeri ini sudah mulai bosan dan gerah melihat kondisi negerinya tidak mampu mensejahterakan dan memakmurkan masyarakatnya dari segala aspek kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, sarana dan prasarana yang memadai, sembako dan lain sebagainya.
Yang sangat membuat kita kaget adalah dimana angka kemiskinan yang tertinggi berada pada daerah pesisir yang notabennya merupakan daerah yang sangat kaya akan potensi sumberdaya alam kelautan. Jika dilihat dari segi geografis bahwa indonesia merupakan Negara maritime maka seharusnya daerah pesisir tidak menjadi daerah yang miskin karena secara fakta bahwa factor penunjang kemiskinan di daerah pesisir tidak dimiliki oleh negeri ini. Jikapun kemiskinan terjadi di daerah pesisir itu disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang dan tidak pernah mau atau dengan sengaja melakukan kemiskinan di daerah pesisir.
Selama 65 tahun indonesia merdeka sudah beberapa kali negeri ini mengalami pergantian pemimpin, mulai dari Presiden Soeharto sampai era kepemimpinan Presiden SBY, pembangunan di sector kelautan tidak menunjukkan kemajuan yang berarti itu bisa terlihat dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang sampai sekarang belum menerapkan sebuah kebijakan pembangunan secara terpadu di wilayah pesisir indonesia. Boleh kita berbangga pada zaman Presiden Soeharto dimana pada tahun 1984 indonesia mampu untuk melakukan swasembada beras kalau menurut saya itu itu tidak masuk akal karena tidak dibarengi dengan swasembada ikan. Karena sudah jelas-jelas bahwa fakta menyebukan 75 % wilayah negeri ini terdiri perairan laut jadi dibandingkan dengan luas daratan yang indonesia miliki laut lebih luas jadi dengan sendirinya sumberdaya alam di sector kelautan indonesia lebih unggul, jadi kenapa justru swasembada beras yang terjadi bukan swasembada ikan. Itu kan hal yang sangat aneh yang pernah terjadi di negeri ini. Melihat dari kejadian itu saja sudah sangat jelas bahwa terjadi diskriminasi kebijakan pembangunan di negeri ini dengan menganaktirikan daerah pesisir di negeri ini.
Sitem yang terbentuk selama era kepemimpinan Presiden Soeharto sangat kental dan sampai sekarang system tersebut belum sepenuhnya berubah walaupun indonesia sudah melakukan reformasi yang kalau menurut saya reformasi bohonh-bohongan, karena system yang diwariskan oleh era kepemimpinan Presiden Soeharto masih kental sekali. Memang tidak semua sitem yang di berlakukan pada era Presiden Soeharto buruk, namun sebagian besar sangat memberikan dampak yang tidak sehat bagi negeri ini, sebut saja budaya KKN walaupun pada dasarnya negeri ini bukanlah negeri yang menjadikan KKN tersebut sebagai budaya mereka, namun budaya tersebut telah terbentuk dengan sendirinya dan sampai sekarang pemerintah sepertinya sangat tidak serius untuk menghilangkan akar dari budaya KKN tersebut.
Barulah pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau biasa lebih kita kenal dengan sebutan Pak Gus Dur, sector kelautan dan perikanan mendapat perhatian lebih serius dimana pada Tahun 2000 dibentuknya sebuah Departemen yang langsung menangani sector kelautan dan perikanan di negeri ini dan dipimpin oleh seorang Mentri. Departemen tersebut kita kenal dengan Departemen Kelautan dan Perikan yang sekarang sudah berganti nama menjadi Kementrian Kelautan dan Perikanan. Walaupun sector kelautan dan perikanan telah memiliki departeman tersendiri dan di pimpin oleh seorang Mentri, namun sampai saat ini belum ada perubahan yang berarti terhadap dunia maritime di negeri ini. Sudah hampir 11 tahun lamanya Kementrian Kelautan dan Perikanan berdiri, namun belum mampu menciptakan dan sebuah terobosan yang bisa membuat sector kelautan dan perikanan di negeri ini maju dan terangkat. Justru pada Tahun 2011 indonesia melakukan impor ikan dari Cina, itu sangat aneh dan tidak masuk akal sama sekali, jika bisa disebut kebijakan mengimpor ikan dari cina adalah penghinaan bagi negeri ini dan kebijakan tersebut sangat-sangat mencerminkan bahwa Kementrian Kelautan dan Perikanan dipimpin oleh seorang yang tidak layak untuk memimpin kementrian kelautan dan perikanan negeri ini. Atas dasar apa kebijakan tersebut diambil. Ikan di negeri ini banyak sekali Pak jadi tidak perlu impor ikan, belum lagi negeri ini melakukan kebijakan impor garam, kalau selama ini garam berasal dari air tebu bolehlah melakukan kebijakan impor garam dari Negara lain, tapi ini garam dari air laut yang mana air laut di indonesia ini banyak sekali, dipakai buat tinta untuk menuliskan kebodohan-kebodohan pemimpin negeri ini tidak akan habis.
Proses kebijakan yang tidak masuk akal dan terbilang sangat bodoh tersebut mencirikan bahwa sitem yang ada sekarang ini justru jauh lebih buruk dibandingkan pada era kepemimpinan Presiden Soeharto. Jika kita merujuk pada fakta yang ada bahwa Indonesia mempunyai potensi produksi lestari perikanan terbesar di dunia, sekitar 65 juta ton/tahun, dan kini sebagai produsen hasil perikanan terbesar ke empat di dunia dengan total volume produksi sebesar 10,8 juta ton (KKP 2010 dan FAO 2010). Disamping itu pada tahun 2004 total produksi perikanan Indonesia sebesar 6,2 juta ton, 4,7 juta ton ton berasal dari perikanan tangkap dan 1,5 juta ton berasal dari perikanan budidaya (DKP 2007). Kemudian pada 2010 total produksi perikanan menjadi 10,8 juta ton (KKP 2010). Artinya terjadi penambahan produksi perikanan sebesar 4,6 juta ton selama 6 tahun. Jadi sangat aneh jika melakukan kebijakan impor ikan dari Negara lain karena indonesia tidak butuh ikan dari Negara lain, ikan dalam negeri ini lebih sedap dan mantab dibandingkan ikan dari Negara lain. Peningkatan produksi perikanan tidak memiliki arti buat kemajuan di daerah pesisir, logikanya jika terjadi peningkatan produksi perikanan selama 6 tahun dari 2004-2010 secara otomatis dibarengi dengan terjadinya peningkatan kehidupan nelayan di daerah pesisir, karena yang menangkap ikan adalah nelayan dan hasil tangkapannya dijual ke penampung jadi seharunya terjadi peningkatan ekonomi juga bagi nelayan dan keluarganya. Jangan hanya mementingkan peningkatan ekonomi Negara saja, padahal nelayan lah yang menyebabkan produksi perikanan negeri ini meningkat.
Melihat hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak serius melakukan pembangunan di daerah pesisir khususnya nelayan yang tinggal di daerah pesisir. Karena peningkatan produksi perikanan tidak membawa efek bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan nelayan di pesisir. Selain kebijakan pemerintah yang tidak mendukung, penerapan system manajemen perikanan yang salah kaprah juga menjadi factor pemicu terpuruknya dunia perikanan negeri ini. Fakta lain menyebutkan kegiatan penangkapan ikan mencapai kategori overfishing sehingga sustainable  potensi perikanan tangkap di Indonesia  diambang kehancuran karena terlalu focus pada pendugaan (KEBIJAKAN KEBETULAN) stock dari sumberdaya ikan, kemudian informasi tentang produksi lestari dijadikan dasar oleh pemerintah dalam hal pengelolaan perikanan di Negeri ini untuk menetapkan kuota penagkapan ikan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch) yang besarnya 80% dari Maximum sustainable Yield (FAO 1995).  Bisa kita lihat penerapan manajemen perikanan tangkap konvensional juga pada umumnya dilaksanakan secara sentralistis dan top-down, sehingga dengan demikian kebutuhan dan aspirasi masyarakatpesisir khususnya nelayan dan stakeholders perikanan kurang atau bahkan tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah.
Hal tersebut tidak akan terjadi jika pemerintah benar-benar serius menerapkan kebijakan pembangunan sector kelautan dan perikanan dibarengi dengan penerapan manajemen perikanan yang tepat dan benar, dimana didalam kebijakan tersebut pembangunan sumberdaya manusia dalam hal ini nelayan menjadi prioritas utama sehingga dengan sendirinya kemajuan sector kelautan dan perikanan tercipta karena factor sumberdaya manusia yang ada khususnya nelayan di dukung dengan stakeholders dunia perikanan di indonesia. Jadi dengan begitu nelayan menjadi factor utama dibalik kemajuan sector kelautan dan perikanan di negeri ini dan hal tersebut harus terbukti dengan peningkatan kesejahteraan bagi nelayan dan masyarakat pesisir di negeri ini.  
satu hal lagi yang perlu pemerintah pahami dengan sepaham-pahamnya didasarai atas kesadaran sebagai seorang yang berpendidikan, bahwa negeri ini kaya akan khasanah budaya bangsa dan memiliki lebih dari 300 suku yang berbeda-beda dan mempunyai keunikan dalam adat dan tradisi secara turun temurun dalam pengelolaan kekayaan hayati perikanan.  Itu terbukti dimana norma adat masyarakat daerah yang kemudian berfungsi sebagai hukum adat dan memiliki kekuatan hukum yang jelas, mengikat dan wajib bagi seluruh anggota masyarakat adat untuk mentaatinya. Hukum adat lahir dari masyarakat dan terbentuk melaui metamorphosis pola social yang terjadi pada generasi pendahulu secara turun temurun baik pada masa sebelum Indonesia merdeka, saat merdeka, rezim orde lama, rezim orde baru, era reformasi, hingga saat ini . Jadi pemerintah harus tahu itu jangan sok tahu, hal tersebut sudah sangat jelas bahwa Manajemen Perikanan yang berbasis masyarakat (community – based management) menjadi jalan keluar dimana kearifan budaya local menjadi ujung tombak dalam melakukan pembangunan di sector kelautan dan perikanan, hal tersebut bisa dilakukan jika pemerintah ingin dan serius menjadikan pembangunan sumberdaya manusia sebagai prioritas khususnya nelayan sehingga sejalan dengan kearifan local yang dimiliki oleh negeri ini di setiap daerah pesisir yang ada di negeri tercinta ini. Disamping itu manajemen kolaborasi antara masyarakat local, pemerintah dan swasta (Luky Adrianto 2006) harus terintegrasi menjadi satu kesatuan dalam mengambil kebijakan membangun dunia perikanan di Indonesia. Sehingga tidak ada lagi sentralistik kebijakan dalam pembangunan dunia perikanan di negeri ini.
Memang betul dan tidak dapat dipungkiri, bahwa dunia perikanan khususnya di Indonesia merupakan sebuah system yang sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak di dalamnya. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Walters : “….Most fisheries problem are complex and contain human as well as biological dimensions. Too frequently we see the consequences of trying to deal with complexity in fragmentary or narrow way. Management plan based on the soundest of biological information fail when it is discovered that fishing pressure cannot be controlled because of unforeseen political or economic constraints. Economic policies fail when unforeseen biological limits are exceeded. In short, fisheries represent dynamic (time varying) systems with interacting components…” (Walters 1980 dalam Adrianto 2008).
Dengan demikian, pengelolaan perikanan tidak bisa terlepas dari peran berbagai pihak seperti nelayan, pemerintah, lembaga non pemerintah, akademisi dan pelaku perikanan lainnya. Dalam konteks tersebut, pemerintah harus paham dan mengerti bahwa dunia perikanan khususnya di Indonesia melibatkan banyak pihak, dan atas dasar tersbutlah yang menjadi pendorong pentingnya ko-manajemen sebagai salah satu proses untuk mempertemukan keinginan seluruh pihak yang terkait.
Namun semua cita-cita diatas akan terlaksana jika pemerintah benar-benar serius melakukan pembangunan dan pembenahan di sector kelautan dan perikanan negeri ini dengan mengajak semua stakeholders yang ada baik pemerintah pusat (KKP), pemerintah provinsi, pemerintah daerah, lembaga non pemerintah, akademisi dan pelaku perikanan lainnya. Sehingga negeri ini akan maju dan di segani karena jati diri Indonesia adalah sebagai Negara maritime yang jika pemerintah menutup mata dan masa bodoh tentang jati diri negeri ini, maka sampai kapanpun juga Indonesia tidak akan maju karena sudah menyalahi kondratnya sebagai negeri maritime yang di pinggirkan oleh kebijakan pemerintah. Kalo memang pemerintah tidak serius dan tidak menjadikan prioritas dalam membangun sector kelautan dan perikanan di negeri ini, maka seperti kata kanda saya Bang Metang “lebih baik kembalikan kedaulatan secara penuh kepada setiap daerah yang ada di negeri ini dan pemerintah hanya sebagai fasilitator saja”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar