Minggu, 11 November 2012

Bumi Halmahera Bagian Dua

Kecamatan Malifut, ya di kecamatan Malifut kami jadikan sebagai pusat untuk mengendalikan setiap kegiatan di lima kecamatan yang dijadikan program bertajuk Pengembangan Ekonomi Lokal Secara Berkelanjutan di Sekitar Tambang PT. NHM. Kegiatan tersebut diinisiasi oleh PKSPL IPB bekerjasama dengan PT. NHM.

Karena sudah terlalu lama disimpan di otak, jadi agak-agak lupa alur cerita sewaktu torang (saya) berada di Halmahera, hehehe. tapi semampunya akan saya ingat kembali.

Kecamatan Malifut merupakan salah satu kecamatan tempat kami melakukan program. pertanyaannya adalah kenapa kecamatan malifut dijadikan pusat atau base camp kegiatan kami, karena pertama sinyal oke, adalah sinya dibandingkan di tempat lain sinyal untuk komunikasi masih agak liar alias kudu nyari-nyari dulu =)), kedua karena posisi yang strategis untuk menjangkau empat lokasi program yang lain. ketiga fasilitas dan sarana cukuplah, walaupun kalo orang kota datang pasti bilang "wah masih jauh tertinggal ini daerah".

Lokasi program kami (PKSPL IPB) berada di 5 Kecamatan di Halmahera Utara, yaitu :
1. Kecamatan Malifut (Desa Sabale)
2. Kecamatan Kao Teluk (Desa Akelamo Kao Cibok)
3. Kecamatan Kao (Desa Kukumutuk)
4. Kecamatan Kao Utara (Desa Bobale)
5. Kecamatan Kao Barat (Desa Makarti)
Jarak dari kecamatan Malifut menuju kecamatan kao teluk memakan waktu perjalanan kalo ngebut dengan kecepatan 80 Km/jam hanya kurang lebih 30-45 menit. sedangkan menuju Kecamatan Kao dari Malifut kalo ngebut hanya memakan waktu 15 menit. kalo menuju kecamatan kao utara dari Malifut hanya memakan waktu 15-30 menit kalo ngebut. nah kalo menuju kecamatan kao barat dijamin makan waktu dan makan hati alias pe lama sampe (ama banget), karena kondis jalan yang sangat atelele (tidak jelas/rusak parah) sehingga kecepatan kendaraan haya bisa 15 km/jam, dan memakan waktu 2 jam kurang lebih.

Malifut sebagian besar di huni oleh masyarakat yang berasal dari suku Makiang (Transmigrasi lokal). suku makiang merupakan suku asli dari maluku utara juga, tepatnya di pulau makiang. sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian berkebun. tanaman yang bernilai ekonomi yang digarap oleh masyarakat di kecamatan malifut yaitu kelapa. yang mana kelapa ini nantinya diolah menjadi kopra untuk kemudian dijual ke Tobelo. Masyarakat maluku utara sangat unik, baik dari gaya bahasa, berpakaian maupun selera makanan. yang pasti makanan mereka tidak manis seperti layaknya masalahan di daerah jawa. makanannya mereka lebih kearah rasa asem-asem. mereka tidak suka dengan masakan yang manis-manis.

menurut saya masakan mereka yang paling mantab adalah ikan bakar dicampur dengan colo-colo..hmmmm mantab banget ketika ikan bakar disantab panas-panas. dan satu lagi masakan mereka yang menurut saya makanan raja-raja (makanan istimewa menurut torang) adalah Papeda/Popeda. saya mengenal baik masyarakat di kecamatan malifut, ada yang baik ada juga yang atelele. oh iya masyarakat di kecamatan malifut ada juga yang berasal dari Makassar yaitu orang bugis. yah mereka juga menjadi bagian penting dari masyarakat di kecamatan malifut. berbaur dengan masyarakat lainnya. disamping itu juga ada masyarakat asli halmahera utara yaitu berada di desa sosol, desa wange otak, desa toma baru.

Kegiatan kami di kecamatan malifut yaitu demfarm peternakan sapi bali. dimana didirikan sebuah percontohan peternakan yang terpadu yang nantinya diharapkan mampu menjadi pilot project yang bisa menarik minat masyarakat dalam hal beternak sapi bali dengan sisitem intensif. lokasi demfarm peternakan sendiri berada di desa sabale di tanah kantor BPP Malifut. lokasi tersebut dipilih dengan segala pertimbangan dari tim ahli peternakan yang kami miliki.

Namun saya terkadang berpikir, kenapa orang-orang pasti bilang " wah kalo orang-orang asli maluku utara itu itam, trus rambut kriting"..padahal hal tersebut tidaklah benar, banyak kok orang asli maluku utara yang putih, dan mempunyai rambut lurus..sebuah pemikiran yang salah itu namanya..hehehehe...

halmahera utara saat ini sudah sedikit ada kemajuan. walaupun belum begitu signifikan. banyak permasalahan yang ada di halmahera utara, salah satunya mereka (masyarakat halmahera utara) tidak mendapat haknya dalam hal kesejahteraan dari kegiatan ekploitasi tambang PT. NHM. karena arah dan kebijakan dari CSR PT. NHM tidaklah tepat dalam menjalankan program yang diamanat kan oleh PT. NHM sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial PT. NHM kepada masyarakat sekitar tambang PT. NHM. halmahera utara sangat kaya dengan sumberdaya alam, salah satunya emas. disinilah pokok permasalahan yang ada di halmahera utara, seharusnya dengan adanya tambang emas yang di kelola oleh PT. NHM mampu memberikan timbal balik kepada masyarakat halmahera utara dalam bentuk penguatan ekonomi lokal secara berkelanjutan. namun hingga saat ini tidak ada program yang tepat, yang mampu memberikan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat sekitar tambang PT. NHM. kami sendiri pada akhirnya dianggap gagal oleh CSR PT. NHM. namun lucunya ketika kami dianggap gagal dalam menjalankan program pengembangan ekonomi lokal secara berkelanjutan disekitar tambang PT. NHM, masyarakat justru protes, dan berpandangan berbeda dengan CSR PT. NHM, karena masyarakat memandang bahwa PKSPL IPB sudah pada jalur yang diharapkan oleh masyarakat selama ini. tapi itulah ketika penyandang dana sudah berkata lain, tidak ada yang bisa kami lakukan.

Selama saya di Halmahera Utara, sudah banyak program yang dilakukan oleh CSR PT. NHM tetapi tidak berjalan, seperti program VCO (virgin Coconut oil), program 5000 Ha jagung, program pengolahan sagu dan sekarang program singkong, kesemuanya tidak  berjalan. disatu sisi program yang diinisisasi oleh PKSPL IPB masih ada yang berjalan, yaitu program Perikanan Budidaya Tambak di Desa Kukumutuk, dan Budidaya Ikan Nila di Desa Makarti. untuk budidaya ikan nila di makarti masih berjalan setelah kami angkat kaki dari halmahera utara, namun terjadi permasalahan dengan pasokan air, dimana kolam ikan nila tidak mendapat pasokan air dikarenakan adanya permasalahan internal di desa makarti dengan desa masyarakat asli di kecamatan kao barat. sehingga saat ini sudah tidak berjalan, dan hal tersebut bukan berarti masyararakat desa makarti gagal, namun lebih kepada CSR PT. NHM tidak mau mendukung mereka. padahal selama kami berada disana, kegiatan budidaya ikan nila di makarti telah mampu mensuplai pasar di kabupaten Galela, dimana bibit maupun ikan ila konsumsi sudah mampu diserap oleh pasar di Kabupaten galela,dimana setiap minggu mereka meminta ikan nila konsumsi sebayak 350 kg. dan terakhir permintaan benih yang tidak sempat dipenuhi akibat CSR PT. NHM telah menyuruh kami angkat kaki terlebih dahulu yaitu sebanyak 120.000 benih ikan nila. jika memang kami gagal kenapa ada permintaan benih sebanyak 120.000 dan adanya permintaan ikan nila konsumsi sebanyak 350 kg per minggu.

Melihat hal tersebut masyarakat di Desa Makarti kembali kecewa untuk kesekian kalinya, karena mereka sudah berkali-kali disodorkan program budidaya ikan nila, dan baru kali ini yang benar-benar terlaksana karena adanya pasar yang mampu menampung ikan nila. namun justru dianggap gagal. mereka hanya bilang Tara masuk akal kong ( tidak masuk diakal jika kami dianggap gagal).

ahhhhh sunggu kadang sangat sakit hati, jika mengingat akan hal tersebut. karena ya gitu deh...hehehe..masih banyak bukti bahwa kami tidak gagal, nanti diceritakan dan diulas pada blog beikutnya, biar panjang aja seh...hehhehehe

tiap hari kami menyantab nasi kuning sebagai sarapan di pagi hari, kadang kami juga menyantab kue-kue, ada satu kue yang namanya unik yaitu "ROTI COI" hehehe, kayak bakpao tapi isinya kelapa manis...tapi aneh katanya orang halmahera utara tidak suka makanan yang manis, tapi roti coi ini manisnya bisa bikin gigi sakit kalo habis makan roti coi tidak sikat gigi, karena saya pernah alami...=)) harga roti coi Rp. 1.000/buah.
 
udah ahhhhhhh pusing mau nulis apa lagi, udah sedikit lupa =)) wkwkwkwkw...wassalam



Jumat, 09 November 2012

Bumi Halmahera Bagian Satu

Bumi Halmahera, tidak terasa sudah 1 tahun 6 bulan saya meninggalkan Halmahera Utara, sebuah daerah yang menyisakan banyak kenangan dan kedekatan emosial dengan masyarakat  untuk disimpan. Namun kerinduan begitu sangat menggebu-gebu untuk bisa menapakkan kaki kembali di Di Bumi Sultan Ternate tersebut. 
 Berawal dari sebuah tugas untuk mengembangkan ekonomi lokal secara berkelanjutan di sekitar Tambang PT. NHM saya berangkat menuju Halmahera Utara, tepatnya pada Tanggal 25 Januari 2009 pukul 01.25 AM WIB saya berangkat menuju Halmahera menggunakan pesawat Batavia dari Bandara Soekarno-Hatta. Dalam benak saya sama sekali buta mengenai Halmahera, seperti apa kehidupan masyarakat disana, kondisi sosial masyarakat disana, kebudayaan, serta permasalahan apa yang mereka hadapi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus bergejolak dalam pikiran saya waktu itu. Hanya satu yang saya ketahui mengenai Halmahera waktu itu adalah bahwa bahasa mereka pasti menggunakan logat bahasa timur Indonesia, dengan ciri cepat dan keras. Tepat jam 07.00 AM Waktu Indonesia Timur, pesawat yang saya tumpangi mendarat di Bandara Sultan Baabullah Kota Ternate, ketika turun dari pesawat saat itu jugalah saya pertama kali menginjakkan kaki saya di Kota Ternate yang merupakan Ibukota dari Provinsi Maluku Utara. Celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan memperhatikan suasana pemandangan Bandara SUltan Baabullan begitu mempesona, karena bersebrangan dengan laut, di sebelah barat ada Gunung Gamala yang begitu menawan untuk ditaklukkan, dan disebelah timur terdapat gugusan pulau yang panjang dan itulah Halmahera, ya Sio Halmahera seperti lagu dengan judul Kota Ternate.

Setelah sejenak memandang, saya bergegas menuju ke tempat pengambilan barang, ketika saya melihat kondisi tempat pengambilan barang sangat terkejut, karena begitu minim dengan fasilitas. Berdesakan dengan para penumpang lain akhirnya saya menemukan tas saya. oh oiya saya tidak sendiri, namun berdua bersama dengan Mas Arsyad, yang merupakan program menejer dari kegiatan yang dijalankan di Halmahera Utara. sambil menunggu Manejer Lapangan yang sudah terlebih dahulu berangkat untuk melakukan inisiasi awal terhadap jalannya program, akhirnya muncul juga Bang Jalil, sosok yang sangat tidak asing bagi saya dan Mas Arsyad. setelah bersalaman, kami berangkat untuk mencari sarapan pagi. untuk mencari sarapan pagi kami menyewa kendaraan yang biasa orang ternate bilang oto. sambil memperhatikan komunikasi antara Bang Jalil  dengan pemilik mobil, karena setau saya jika kita ingin mendalami sebuah komunitas kita harus menguasai bahasa mereka, setidaknya dialek yang mereka gunakan kita kuasai. setelah tercapai kesepakatan bahwa harga sewa mobil sebesar Rp. 250.000 kami berangkat untuk mencari pelepas rasa lapar kami, yaitu sarapan pagi. setelah melakukan perjalanan kurang lebih 30 menit, kami sampai di rumah makan yang sederhana, dan menu favorit yang disugukan adalah nasi kuning. sungguh menarik sajian dari nasi kuning ada ikan tongkol, atau orang ternate bilang ikan komo, ada telur, dan tidak lupa dabu-dabu atau sambel. ada kemiripan dengan nasi tumpeng di jawa yaitu dari segi warna dan rasa, itu saja. 
setelah menyantap habis nasi kuning kami berangkat menuju pelabuhan penyebarangan di dekat mesjid Al-Munawar untuk menyebrang ke bumi halmahera. setelah sampai di pelabuhan penyebrangan kami langsung masuk ke dalam speed bot untuk menyebrang ke bumi halmahera. begitu penumpang penuh, speed bot dinyalakan oleh sang pemilik. disinilah keindahan pemandangan sangat memanjakan ke dua bola mata saya, dimana kondisi laut masih sangat bagus, dipadukan dengan pemandangan pulau tidore, serta pulau ternate, ada juga pulau hiri dari kejauhan seakan menyapa  dan berkata "mari mampir ke hiri". kapasitas penumpang speed bot hanya untuk 30 orang saja. dan perjalanan menempuh waktu kurang lebih 45 menit saja. setelah kami menempuh perjalan selama kurang lebih 45 menit, akhirnya kami sampai di pelabuhan yang bernama sidangoli, sebelum kami turun dari speed bot, kami dikenakan ongkos sebesar Rp. 50.000 satu orang. setelah kami turun ternyata sudah ada mobil yang menunggu kami, ternyata merupakan mobil sewaan yang memang sudah dipersiapkan oleh Bang Jalil untuk menunggu saya dan mas arsyad. dan ternyata sopirnya bernama Pak Rafi, merupakan orang asli bugis yang merantau di Halmahera Utara. setelah semua barang-barang kami dinaikkan ke dalam mobil atau orang sana bilan oto, kami berangkan menuju kecamatan Malifut,dimana disanalah nantinya kami tinggal. 

Selama dalam perjalanan menuju kecamatan malifut, sekali lagi mata saya dimanjakan oleh pemandangan yang sungguh sangat asri dan masih perawan, gunung. lautan dan hutan berpadu membentuk keeksotikan dari Bumi Halmahera. Sungguh sangat indah dipandang, hamparan semak belukar begitu luas, kondisi jalan begitu meliuk-liuk seperti ular. selama dalam perjalanan saya hanya asik untuk memperhatikan kondisi pemandangan yang begitu mempesona. ketika memasuki desa saya liat kondisi rumah, orang-orang, tempat ibadah dll. tak terasa hampir 2 jam kami melakukan perjalanan, akhirnya sampai juga di Kecamatan Malifut, tepatnya di Desa Ngofagita, disana kami dijemput oleh salah seorang fasilitator teknis peternakan namanya ramdan. setelah sampai di rumah tempat kami tinggal, kami istirahat untuk melepas lelah, namun karena pemandangan yang begitu memanjakan mata saya, jadi saya tidak merasa lelah sedikitpun.

Inilah bagian pertama dari Bumi Halmahera yang saya rindukan :D.


Sabtu, 03 November 2012

INDONESIA YANG MULIA SEBAGAI NEGERI MARITIME

Melihat kondisi Indonesia seharusnya kita sadar dan melek, bahwa sejatinya negeri ini adalah merupakan negeri maritime. Dimana luas perairan laut 5,8 juta Km2 (75%) dari total wilayah indonesia)yang terdiri dari 0,3 juta km2 perairan laut teritorial, 2,8 juta km2 perairan laut nusantara dan 2,7 juta km2 laut ZEE. Lebih luas dibandingkan wilayah daratan yang hanya 1,9 juta km2 atau 25% dari total wilayah indonesia. Disamping itu Indonesia memiliki garis pantai terpanjang ke dua di Dunia, sepanjang 95.181 Km2. wilayah pesisir dan lautan Indonesia pun dikenal memiliki potensi kekayaan alam dan ekonomi yang sangat besar dan beragam. Kekayaan alam yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan Indonesia terdiri atas SDA terbarukan, SDA tak terbarukan serta energi kelautan dan jasa-jasa lingkungan. Dengan potensi kelautan dan perikanan tersebut, mestinya Indonesia mampu melebihi Negara-negara lain di dunia, bahkan seharusnya Indonesia sudah menjadi Negara besar dan makmur. Namun sudah 65 tahun merdeka, indonesia masih berstatus sebagai negara berkembang dengan tingkat penangguran dan kemiskinan yang tinggi dengan daya saing ekonomi yang rendah.
Kesalahan kebijakan dan praktek-praktek korupsi dan tidak berkepihakan terhadap masyarakat merupakan factor utama yang menyebabkan Negara ini tidak mampu bersaing dengan dengara lain, justru sangat tertinggal jauh dengan Negara lain di dunia. Terpuruknya kondisi Negara yang kita cintai ini disebabkan rendahnya IPM (indeks Pembangunan Manusia). Padahal indonesia dikenal sebagai negara degan jumlah penduduk lebih dari 200juta jiwa (terbesar ke empat di dunia setelah china, india dan AS).
Pada kondisi yang demikian sangat jelas dan sangat wajar ketika masyarakat negeri ini sudah mulai bosan dan gerah melihat kondisi negerinya tidak mampu mensejahterakan dan memakmurkan masyarakatnya dari segala aspek kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, sarana dan prasarana yang memadai, sembako dan lain sebagainya.
Yang sangat membuat kita kaget adalah dimana angka kemiskinan yang tertinggi berada pada daerah pesisir yang notabennya merupakan daerah yang sangat kaya akan potensi sumberdaya alam kelautan. Jika dilihat dari segi geografis bahwa indonesia merupakan Negara maritime maka seharusnya daerah pesisir tidak menjadi daerah yang miskin karena secara fakta bahwa factor penunjang kemiskinan di daerah pesisir tidak dimiliki oleh negeri ini. Jikapun kemiskinan terjadi di daerah pesisir itu disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang dan tidak pernah mau atau dengan sengaja melakukan kemiskinan di daerah pesisir.
Selama 65 tahun indonesia merdeka sudah beberapa kali negeri ini mengalami pergantian pemimpin, mulai dari Presiden Soeharto sampai era kepemimpinan Presiden SBY, pembangunan di sector kelautan tidak menunjukkan kemajuan yang berarti itu bisa terlihat dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang sampai sekarang belum menerapkan sebuah kebijakan pembangunan secara terpadu di wilayah pesisir indonesia. Boleh kita berbangga pada zaman Presiden Soeharto dimana pada tahun 1984 indonesia mampu untuk melakukan swasembada beras kalau menurut saya itu itu tidak masuk akal karena tidak dibarengi dengan swasembada ikan. Karena sudah jelas-jelas bahwa fakta menyebukan 75 % wilayah negeri ini terdiri perairan laut jadi dibandingkan dengan luas daratan yang indonesia miliki laut lebih luas jadi dengan sendirinya sumberdaya alam di sector kelautan indonesia lebih unggul, jadi kenapa justru swasembada beras yang terjadi bukan swasembada ikan. Itu kan hal yang sangat aneh yang pernah terjadi di negeri ini. Melihat dari kejadian itu saja sudah sangat jelas bahwa terjadi diskriminasi kebijakan pembangunan di negeri ini dengan menganaktirikan daerah pesisir di negeri ini.
Sitem yang terbentuk selama era kepemimpinan Presiden Soeharto sangat kental dan sampai sekarang system tersebut belum sepenuhnya berubah walaupun indonesia sudah melakukan reformasi yang kalau menurut saya reformasi bohonh-bohongan, karena system yang diwariskan oleh era kepemimpinan Presiden Soeharto masih kental sekali. Memang tidak semua sitem yang di berlakukan pada era Presiden Soeharto buruk, namun sebagian besar sangat memberikan dampak yang tidak sehat bagi negeri ini, sebut saja budaya KKN walaupun pada dasarnya negeri ini bukanlah negeri yang menjadikan KKN tersebut sebagai budaya mereka, namun budaya tersebut telah terbentuk dengan sendirinya dan sampai sekarang pemerintah sepertinya sangat tidak serius untuk menghilangkan akar dari budaya KKN tersebut.
Barulah pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau biasa lebih kita kenal dengan sebutan Pak Gus Dur, sector kelautan dan perikanan mendapat perhatian lebih serius dimana pada Tahun 2000 dibentuknya sebuah Departemen yang langsung menangani sector kelautan dan perikanan di negeri ini dan dipimpin oleh seorang Mentri. Departemen tersebut kita kenal dengan Departemen Kelautan dan Perikan yang sekarang sudah berganti nama menjadi Kementrian Kelautan dan Perikanan. Walaupun sector kelautan dan perikanan telah memiliki departeman tersendiri dan di pimpin oleh seorang Mentri, namun sampai saat ini belum ada perubahan yang berarti terhadap dunia maritime di negeri ini. Sudah hampir 11 tahun lamanya Kementrian Kelautan dan Perikanan berdiri, namun belum mampu menciptakan dan sebuah terobosan yang bisa membuat sector kelautan dan perikanan di negeri ini maju dan terangkat. Justru pada Tahun 2011 indonesia melakukan impor ikan dari Cina, itu sangat aneh dan tidak masuk akal sama sekali, jika bisa disebut kebijakan mengimpor ikan dari cina adalah penghinaan bagi negeri ini dan kebijakan tersebut sangat-sangat mencerminkan bahwa Kementrian Kelautan dan Perikanan dipimpin oleh seorang yang tidak layak untuk memimpin kementrian kelautan dan perikanan negeri ini. Atas dasar apa kebijakan tersebut diambil. Ikan di negeri ini banyak sekali Pak jadi tidak perlu impor ikan, belum lagi negeri ini melakukan kebijakan impor garam, kalau selama ini garam berasal dari air tebu bolehlah melakukan kebijakan impor garam dari Negara lain, tapi ini garam dari air laut yang mana air laut di indonesia ini banyak sekali, dipakai buat tinta untuk menuliskan kebodohan-kebodohan pemimpin negeri ini tidak akan habis.
Proses kebijakan yang tidak masuk akal dan terbilang sangat bodoh tersebut mencirikan bahwa sitem yang ada sekarang ini justru jauh lebih buruk dibandingkan pada era kepemimpinan Presiden Soeharto. Jika kita merujuk pada fakta yang ada bahwa Indonesia mempunyai potensi produksi lestari perikanan terbesar di dunia, sekitar 65 juta ton/tahun, dan kini sebagai produsen hasil perikanan terbesar ke empat di dunia dengan total volume produksi sebesar 10,8 juta ton (KKP 2010 dan FAO 2010). Disamping itu pada tahun 2004 total produksi perikanan Indonesia sebesar 6,2 juta ton, 4,7 juta ton ton berasal dari perikanan tangkap dan 1,5 juta ton berasal dari perikanan budidaya (DKP 2007). Kemudian pada 2010 total produksi perikanan menjadi 10,8 juta ton (KKP 2010). Artinya terjadi penambahan produksi perikanan sebesar 4,6 juta ton selama 6 tahun. Jadi sangat aneh jika melakukan kebijakan impor ikan dari Negara lain karena indonesia tidak butuh ikan dari Negara lain, ikan dalam negeri ini lebih sedap dan mantab dibandingkan ikan dari Negara lain. Peningkatan produksi perikanan tidak memiliki arti buat kemajuan di daerah pesisir, logikanya jika terjadi peningkatan produksi perikanan selama 6 tahun dari 2004-2010 secara otomatis dibarengi dengan terjadinya peningkatan kehidupan nelayan di daerah pesisir, karena yang menangkap ikan adalah nelayan dan hasil tangkapannya dijual ke penampung jadi seharunya terjadi peningkatan ekonomi juga bagi nelayan dan keluarganya. Jangan hanya mementingkan peningkatan ekonomi Negara saja, padahal nelayan lah yang menyebabkan produksi perikanan negeri ini meningkat.
Melihat hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak serius melakukan pembangunan di daerah pesisir khususnya nelayan yang tinggal di daerah pesisir. Karena peningkatan produksi perikanan tidak membawa efek bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan nelayan di pesisir. Selain kebijakan pemerintah yang tidak mendukung, penerapan system manajemen perikanan yang salah kaprah juga menjadi factor pemicu terpuruknya dunia perikanan negeri ini. Fakta lain menyebutkan kegiatan penangkapan ikan mencapai kategori overfishing sehingga sustainable  potensi perikanan tangkap di Indonesia  diambang kehancuran karena terlalu focus pada pendugaan (KEBIJAKAN KEBETULAN) stock dari sumberdaya ikan, kemudian informasi tentang produksi lestari dijadikan dasar oleh pemerintah dalam hal pengelolaan perikanan di Negeri ini untuk menetapkan kuota penagkapan ikan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch) yang besarnya 80% dari Maximum sustainable Yield (FAO 1995).  Bisa kita lihat penerapan manajemen perikanan tangkap konvensional juga pada umumnya dilaksanakan secara sentralistis dan top-down, sehingga dengan demikian kebutuhan dan aspirasi masyarakatpesisir khususnya nelayan dan stakeholders perikanan kurang atau bahkan tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah.
Hal tersebut tidak akan terjadi jika pemerintah benar-benar serius menerapkan kebijakan pembangunan sector kelautan dan perikanan dibarengi dengan penerapan manajemen perikanan yang tepat dan benar, dimana didalam kebijakan tersebut pembangunan sumberdaya manusia dalam hal ini nelayan menjadi prioritas utama sehingga dengan sendirinya kemajuan sector kelautan dan perikanan tercipta karena factor sumberdaya manusia yang ada khususnya nelayan di dukung dengan stakeholders dunia perikanan di indonesia. Jadi dengan begitu nelayan menjadi factor utama dibalik kemajuan sector kelautan dan perikanan di negeri ini dan hal tersebut harus terbukti dengan peningkatan kesejahteraan bagi nelayan dan masyarakat pesisir di negeri ini.  
satu hal lagi yang perlu pemerintah pahami dengan sepaham-pahamnya didasarai atas kesadaran sebagai seorang yang berpendidikan, bahwa negeri ini kaya akan khasanah budaya bangsa dan memiliki lebih dari 300 suku yang berbeda-beda dan mempunyai keunikan dalam adat dan tradisi secara turun temurun dalam pengelolaan kekayaan hayati perikanan.  Itu terbukti dimana norma adat masyarakat daerah yang kemudian berfungsi sebagai hukum adat dan memiliki kekuatan hukum yang jelas, mengikat dan wajib bagi seluruh anggota masyarakat adat untuk mentaatinya. Hukum adat lahir dari masyarakat dan terbentuk melaui metamorphosis pola social yang terjadi pada generasi pendahulu secara turun temurun baik pada masa sebelum Indonesia merdeka, saat merdeka, rezim orde lama, rezim orde baru, era reformasi, hingga saat ini . Jadi pemerintah harus tahu itu jangan sok tahu, hal tersebut sudah sangat jelas bahwa Manajemen Perikanan yang berbasis masyarakat (community – based management) menjadi jalan keluar dimana kearifan budaya local menjadi ujung tombak dalam melakukan pembangunan di sector kelautan dan perikanan, hal tersebut bisa dilakukan jika pemerintah ingin dan serius menjadikan pembangunan sumberdaya manusia sebagai prioritas khususnya nelayan sehingga sejalan dengan kearifan local yang dimiliki oleh negeri ini di setiap daerah pesisir yang ada di negeri tercinta ini. Disamping itu manajemen kolaborasi antara masyarakat local, pemerintah dan swasta (Luky Adrianto 2006) harus terintegrasi menjadi satu kesatuan dalam mengambil kebijakan membangun dunia perikanan di Indonesia. Sehingga tidak ada lagi sentralistik kebijakan dalam pembangunan dunia perikanan di negeri ini.
Memang betul dan tidak dapat dipungkiri, bahwa dunia perikanan khususnya di Indonesia merupakan sebuah system yang sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak di dalamnya. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Walters : “….Most fisheries problem are complex and contain human as well as biological dimensions. Too frequently we see the consequences of trying to deal with complexity in fragmentary or narrow way. Management plan based on the soundest of biological information fail when it is discovered that fishing pressure cannot be controlled because of unforeseen political or economic constraints. Economic policies fail when unforeseen biological limits are exceeded. In short, fisheries represent dynamic (time varying) systems with interacting components…” (Walters 1980 dalam Adrianto 2008).
Dengan demikian, pengelolaan perikanan tidak bisa terlepas dari peran berbagai pihak seperti nelayan, pemerintah, lembaga non pemerintah, akademisi dan pelaku perikanan lainnya. Dalam konteks tersebut, pemerintah harus paham dan mengerti bahwa dunia perikanan khususnya di Indonesia melibatkan banyak pihak, dan atas dasar tersbutlah yang menjadi pendorong pentingnya ko-manajemen sebagai salah satu proses untuk mempertemukan keinginan seluruh pihak yang terkait.
Namun semua cita-cita diatas akan terlaksana jika pemerintah benar-benar serius melakukan pembangunan dan pembenahan di sector kelautan dan perikanan negeri ini dengan mengajak semua stakeholders yang ada baik pemerintah pusat (KKP), pemerintah provinsi, pemerintah daerah, lembaga non pemerintah, akademisi dan pelaku perikanan lainnya. Sehingga negeri ini akan maju dan di segani karena jati diri Indonesia adalah sebagai Negara maritime yang jika pemerintah menutup mata dan masa bodoh tentang jati diri negeri ini, maka sampai kapanpun juga Indonesia tidak akan maju karena sudah menyalahi kondratnya sebagai negeri maritime yang di pinggirkan oleh kebijakan pemerintah. Kalo memang pemerintah tidak serius dan tidak menjadikan prioritas dalam membangun sector kelautan dan perikanan di negeri ini, maka seperti kata kanda saya Bang Metang “lebih baik kembalikan kedaulatan secara penuh kepada setiap daerah yang ada di negeri ini dan pemerintah hanya sebagai fasilitator saja”.